YAKUSA

Yakin Usaha Sampai

FoLLoweR

serba-serbi

Senin, 26 Mei 2008

Dilema Kehidupan Anak Jalanan (pengamen) dan Penjual Koran di Perempatan ITN Malang


Dunia dengan segala realita yang ada tak mungkin tetap, selalu saja ada perubahan sosial yang terjadi secara lamban maupun cepat. Perubahan social mengakibatkan berbagai konflik, anomali sosial, atau kesejahteraan. Semua akan berdampak secara multidimensional di segala seluk kehidupan. Masalah kehidupan dapat dilihat melalui segala bidang seperti ekonomi, psikologis, social, budaya, bahkan kriminal. Salah satu dari sekian banyak masalah, ada satu masalah yang klise dimana hingga saat ini pemerintah atau negara manapun di dunia ini belum dapat menyelesaikan masalah ini, terutama di Indonesia. Anak jalanan. Anak jalanan merupakan masalah klise yang terjadi di negara ini. Bagi masyarakat,anak jalanan lebih sering mengalami dekadensi moral yang diakibatkan oleh pergaulan dan pengaruh lingkungan yang tak biasa diajarkan tata krama seperti yang diajarkan pada anak-anak di sekolah pada umumnya. Padahal tak semua anak jalanan seperti itu. Bahkan, tak sedikit juga dari kalangan akademisi yang mengalami dekadensi moral jauh lebih parah disbanding anak jalanan. Perbedaan hanya terselubung dan transparan saja. Begitu pelik masalah yang dihadapi oleh bangsa ini. Tapi mengapa pemerintah kurang memperhatikan masalah yang menyangkut pada kesejahteraan rakyat, terutama generasi penerus bangsa yang merupakan agent of change atau agen perubahan? Apakah masalah anak jalanan ini terlalu sepele bagi sebagian anggota DPR dan MPR sehingga tidak terlalu penting untuk diselesaikan?

Di sepanjang jalan di daerah manapun pasti akan ditemui anak jalanan yang bergerombol, berebutan rejeki, mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan sehari-sehari mereka yang semakin mendesak. Harga sembako dan pendidikanpun semakin mahal, sehingga keluarga para anak jalanan tak mampu membiayai pendidikan mereka. Akhirnya, generasi penerus bangsa itupun terpaksa berhenti sekolah dan rentan akan tindak criminal. Faktor ekonomi dan pendidikan merupakan alasan utama yang menjadikan mereka sebagai anak jalanan. Mengenyam pendidikan merupakan makanan yang tak sanggup mereka konsumsi lagi. Yang mereka pikirkan hanyalah memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka guna melangsungkan kehidupan. Mengenyangkan perut lebih penting daripada mengenyangkan otak mereka dengan teori-teori yang belum tentu teraplikasikan dalam hidup mereka, mungkin itulah pikiran anak jalanan ketika mereka memutuskan terjun dalam dunia jalanan.

Oleh karena itu, kami para penyusun observasi ini ditugaskan oleh panitia PRA-LKP2M untuk melaksanakan observasi mengenai anak jalanan dengan spesifikasi pengamen dan penjual Koran yang berada di perempatan ITN. Banyak pertanyaan yang muncul dalam benak penyusun, sehingga akhirnya observasi inipun Bagaimana kehidupan anak jalanan (pengamen) dan penjual koran sehari-hari di perempatan ITN? Bagaimana pandangan para pengguna jalan raya dengan adanya anak jalanan (pengamen) dan penjual Koran di perempatan ITN? Apakah para pengguna jalan merasa terganggu dengan adanya anak jalanan (pengamen) dan penjual Koran di perempatan ITN ? Apakah selamanya mereka akan hidup di jalanan tanpa memikirkan masa depannya kelak? Bagaimana Negara yang besar dan kaya seprti Indonesia tidak dapat menyelesaikan masalah seperti ini? Siapakah yang harus disalahkan? Sistem ataukah manusianya?


Pada hari Selasa tanggal 25 Maret 2008, kelompok Duta Masyarakat yang beranggotakan Indah, Endahing, dan Musta’in telah melakukan observasi kecil terhadap anak jalanan (pengamen) dan penjual koran di perempatan ITN.
Tercatat ada kurang lebih sepuluh pengamen yang terdiri dari anak kecil, remaja, bahkan orang dewasa yang berasal dari kampung yang sama yaitu daerah Dinoyo. Anak kecil berumur antara 10-12 tahun, remaja berumur antara 16-18 tahun, dan orang dewasa berumur antara 21-40 tahun. Dominan para pengamen berjenis kelamin pria, sedangkan wanita hanya ada 2 orang yaitu anak kecil berumur kurang lebih 11 tahun, dan orang dewasa berumur kurang lebih 40 tahun.

Saat Indah dan Endahing melakukan wawancara, beberapa pertanyaan dilontarkan begitu saja tanpa direncanakan terlebih dahulu, namun tidak menyimpang dari tujuan utama observasi, dengan maksud agar anak jalanan tidak merasa canggung ketika memberikan keterangan atau jawaban yang sebenarnya.
Bambang berusia 16 tahun, salah satu anggota anak jalanan yang turut mengamen di perempatan ITN mengaku bahwa dia tidak sekolah lagi, dan kini berprofesi sebagai seorang pengamen bersama teman-temannya berasal dari kampung yang sama. Dia memutuskan menjadi seorang pengamen sejak tahun 2005 atas kemauan sendiri. Namun, menurut Endahing, kemungkinan tidak hanya kemauan sendiri melainkan juga diajak oleh teman sepermainan di kampungnya, dan juga faktor ekonomi yang semakin mendesak untuk terus melangsungkan kehidupan mereka. Selama ini, Bambang menikmati profesinya sebagai seorang anak jalanan, walaupun terkadang terbesit keinginan untuk berubah menjadi lebih baik dengan berganti profesi yang layak. Namun, sampai saat ini belum juga ada pihak yang mau menerimanya bekerja dengan alasan skill kurang mendukung. Dia juga masih ingin sekolah seperti anak-anak lain, namun apalah daya keluarganya tidak mampu membiayai sekolah Bambang lagi, sehingga membuat Bambang sekarang membantu perekonomian keluarga dengan jalan menjadi seorang pengamen.

Alek, seorang remaja yang beranjak dewasa berusia 17 tahun, juga mengalami nasib sama seperti Bambang. Tetapi, menurut keterangan dirinya dia masih sekolah kelas 3 di SMP Ma’arif. Entah keterangannya benar atau tidak hanya Allah dan dia yang tahu. Alek menjadi seorang pengamen sejak kecil. Alek memutuskan menjadi seorang pengamen hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Dia mengaku bahwa uang hasil mengamen yang didapatkan selain digunakan untuk makan, juga untuk membeli rokok. Ketika Endahing memberi pilihan, lebih memilih makanan atau rokok, mereka menjawab dengan kompak menjawab rokok menjadi pilihannya. Endahing berpikir, apakah mengamen hanya untuk merokok? Lalu bagaimana dengan kebutuhan pokok mereka sehari-hari, bahkan keluarga yang mereka bantu?

Agung, bocah remaja berusia 18 tahun, diantara kelompok pengamen dia merupakan salah satu yang lebih dewasa dibanding Bambang dan Alek. Cara penyampaian jawaban mencerminkan dia termasuk pengamen yang sopan, bahkan terlihat masih tersisik dibanding yang lain. Agung menjadi seorang anak jalanan sejak kecil, dengan alasan klise, karena faktor ekonomi. Kebutuhan sehari-hari yang terus menuntut untuk dipenuhi, maka akhirnya Agung terjun ke dunia anak jalanan. Dia tidak seklah, sama seprti Bambang. Menjadi anak jalanan bukanlah pilihannya, namun keadaan menuntut untuk menjadikan dirinya sebagai profesi yang dianggap negatif bagi beberapa kalangan masyarakat.

Bambang, Alek, dan Agung beserta anggota kelompoknya yang lain “mangkal” di perempatan ITN sejak pagi hingga malam. Mereka berangkat dan pulang bersama, karena berasal dari kampung yang sama. Pendapatan mengamen mereka tak menentu, tergantung hari dan waktu. Pendapatan mereka antara Rp.5000,00 hingga Rp.20.000 per hari. Menurut Agung, mereka mendapat uang lebih banyak pada hari Sabtu dan Minggu sore. Mereka tak hanya mendapatkan uang, tetapi juga ada yang memberi mereka rokok dan permen. Bagi Bambang, Alek, dan Agung ketika diberi rokok, mereka menerimanya, lain lagi dengan si kecil, dia menolak dengan berkata ,”Mpun, Pak! Mboten usah!”. Ternyata si kecil lebih memilih uang daripada rokok. Bagi pengamen kecil menggunakan alat ecrek-ecrek bila mengamen, sedangkan bagi pengamen remaja menggunakan gitar kecil atau biasa disebut dengan kompreng. Agung mengaku bahwa gitar kecil itu didapatkan dari Bambang membelinya dengan harga Rp.40.000,00. Uang untuk membeli gitar kecil itu berasal dari jerih payah mereka. Banyak suka dan duka yang mereka alami selama menjadi seorang anak jalanan. Sukanya, karena mereka selain bisa mencari uang sendiri, mereka bisa mengenal pengamen dari daerah lain. Dukanya, terkadang mereka harus berurusan dengan pihak berwajib, siapa lagi kalau bukan polisi dan pamong praja yang bertugas untuk menertibkan kawasan umum dari anak jalanan. Mereka tidak mengetahui kapan pamong praja datang dan siap untuk menjaring siapapun yang merusak pemandangan kawasan yang ditertibkan tersebut. Ketika pamong praja datang, mereka berlari untuk bersembunyi. Apabila pamong praja atau polisi terus mengitari daerah mereka “mangkal”, maka para pengamen memutuskan pulang, tetapi sebaliknya, mereka kembali “mangkal” dean melanjutkan untuk mengamen. Kejadian seperti itu telah menjadi makanan sehari-hari bagi para pengamen di perempatan ITN. Tak jarang mereka tidak beruntung, saat pamong praja melakukan penertiban, ada juga pengamen yang tertangkap. Menurut keterangan Alek dan Agung, ketika tertangkap dan dibawa ke kantor, tak pelak pukulan para pihak berwajib menghujani tubuh mungil mereka yang bukan merupakan lawan yang imbang. Endahing berpikir, apakah itu cerminan dunia hukum di negara kita? Apakah dengan memukul anak jalanan dapat menyelesaikan masalah? Apakah dengan pukulan dapat menjerakan para pengamen? Ternyata tidak, ketika mereka dibebaskan dengan tebusan yang tak murah menurut Agung antara Rp.300.000,00-Rp.500.000,00 oleh seseorang mungkin tetangga mereka atau “kepala jaringan anak jalanan”, mereka tetap mengamen seperti biasanya. Beberapa waktu lalu disiarkan di salah satu program berita televisi swasta, episode saat itu membahas tentang jaringan anak jalanan yang dijadikan sebagai copet dimana itu merupakan profesi lain selain menjadi pengamen. Jadi, anak jalanan selain mengamen, ada oknum menawari pekerjaan lain pada anak jalanan. Oknum tersebut terus mempengaruhi si anak untuk bergabung dalam jaringan anak untuk mencopet. Sebagian besar, anak jalanan terpengaruh dengan bujuk rayu, dan akhirnya bergabunglah mereka dalam suatu wadah yang telah terorganisir yaitu pencopetan. Dominan alasan anak jalanan menerima tawaran oknum tersebut, selain karena desakan kebutuhan semakin bertambah, tetapi juga bergabung dengan organisasi tersebut hidup mereka terjamin, segala kebutuhan hidup mereka dipenuhi, apabila tertangkap saat melakukan operasi maka bos mereka akan menebus hingga mereka bebas kembali. Sebagai awal untuk menjadi seorang pencopet handal ialah seminggu sebelumnya anak jalanan tersebut diajari cara mencopet yaitu mengambil kuning telur dalam minyak atau air. Jika sudah mampu, maka mereka akan dilepas untuk praktek langsung. Sasaran meeka rata-rata para ibu dan anak muda yang lengah menjaga barang berharga mereka. Barang berharga yang biasa diambil kebanyakan telepon genggam, dompet atau perhiasan lain. Karena, acara tersebut salah satu penulis sempat curiga, apakah anak-anak jalanan yang berada di perempatan ITN telah teroganisir sebelumnya ataukah tidak, apalagi mereka berasal ari kampung yang sama. Terutama saat mereka tertangkap oleh pihak berwajib, mereka ditebus dengan harga yang terglong tinggi bagi masyarakat tidak mampu seperti mereka. Saat ditanya oleh Endahing mengenai siapa yang menebus mereka saat tertangkap, terlihat bahwa mereka menutupi sesuatu dengan melontarkan jawaban kurang logis.
Tidak selamanya anak jalanan tercerminkan negatif. Agung mengungkapkan bahwa 1,5 bulan yang lalu di pertengahan Januari, dia mengikuti Lomba Cipta Lagu Anak Jalanan yang diadakan salah satu LSM yang bertindak di bidang kekerasan anak, dia memenangkan juara tiga se-Malang Raya. Ini patut diacungi jempol, karena walaupun mereka menjadi anak jalanan, mereka masih bisa berprestasi. Alangkah baiknya, ketika pemerintah menaungi mereka dengan mengasah potensi terpendam anak jalanan, tetapi pemerintah lebih sibuk mengurusi urusan intern yang lebih menguntungkan golongannya sendiri. Karena penulis ingin tahu lebih banyak, maka penulis mengajukan pertanyaan. Siapakah yang membiayai pendaftaran saat lomba itu? Agungpun menjawab bahwa piha RW membiayai pendaftaran kompetisi cipta lagu anak jalanan tersebut. Bila menilik ke pihak pemerintah (Rukun Warga),berarti mereka telah mengetahui bahwa ada warganya yang tidak mampu dan terpaksa menjadi anak jalanan. Jika seperti itu, sebagai ketua RW yang bijak, mengapa anak-anak tersebut tidak dicarikan beasiswa guna melanjutkan pendidikan mereka? Daripada mereka terus mengamen di jalanan yang belum tentu membuat pengguna jalan merasa aman dan nyaman dengan adanya anak jalanan di tengah-tengah perjalanan mereka. Mengapa pihak pemerintah di kampung malah mendukung mereka menjadi anak jalanan dengan cara seperti tadi? Walaupun cara mendukungnya itu tidak transparan atau secara tidak langsung.
Dilema kehidupan tidak hanya dialami oleh anak jalanan atau pengamen, tetapi juga penjual koran. Pada saat observasi dilakukan ada dua penjual koran, seorang pemuda dan pria parobaya. Dua penjual koran tersebut hampir sama nasibnya seperti para pengamen yang ada di perempatan ITN. Mereka sama-sama kesulitan ekonomi, dan harus memenuhi kebutuhan mereka. Mereka bekerja untuk mencari sesuap nasi. Perbedaannya dari cara kerja dan profesi mereka saja. Pengamen dan penjual koran. Bagi sebagian masyarakat, profesi sebagai penjual koran lebih baik daripada pengamen. Padahal menurut penulis sama saja, pengamen menjual suara termasuk dalam bidang seni, sedangkan penjual koran menjual barang dagangan secara fisik. Memang kelihatannya masih lebih beradab penjual koran.
Para penjual koran itu “mangkal” untuk menjajakan barang dagangan sejak pagi sampai sore, menunggu barang dagangannya habis atau tingal sedikit hingga tak membuat mereka rugi banyak. Mereka menjajakan korannya ketika lampu merah menyala di perempatan itu. Peluh membajiri raut wajah coklat tua mereka, menandakan mereka tak menyerah untuk mencari nafkah demi keluarga di rumah, demi anak-anak mereka yang setia menunggu untuk mendapatkan uang jaja, istri mereka yang setia untuk menerima hasil penjualan koran dan api komporpun dapat dinyalakan lagi. Miris ketika penulis mendengar liku hidup mereka yang begitu rumit. Benar-benar perjuangan yang perlu dihargai dan dapat menjadi teladan bagi para akademisi atau kalangan lain.
Seorang pemuda salah satupenjual koran mengaku bahwa ia memiliki seorang ayah yang bekerja sebagai satpam di Universitas Islam Negeri Malang dimana merupakan kampus tempat penulis memuaskan otak dan pemikiran mereka guna menyabet sebuah gelar yang dapat diakui di masyarakat, tak diremehkan seperti anak jalanan dan penjual koran. Pemuda itu berulangkali melamar kerja di UIN Malang sebagai cleaning service, tapi takdir berkata lain hingga keberuntungan belum memihak padanya, berulangkali pula pemuda itu masih belum diterima sebagai cleaning service di universitas yang terkenal dengan motto ulul albabnya ini dan sebutan sebagai bilingual university. Setiap harinya, penjual koran mendapatkan hasil yang pas-pasan bahkan pernah rugi, karena koran yang terjual hanyasedikit sehingga mereka tak dapat balik modal. Tapi mereka tak pernah menyerah. Pernah ada pikiran untuk berubah. Hanya saja belum ada kesempatan bagi mereka, ataukah belum ada pihak yang bersedia untuk mereka dan memberikan perubahan berarti bagi para penjual koran itu. Semua orang pasti memiliki mimpi, hanya kemauan, usaha, dan kesempatan sebagai modal guna mewujudkan mimpi-mimpi tersebut agar menjadi kenyataan.
Setelah mengetahui sebagian hidup para pengamen dan penjual koran, beralih pada para pengguna jalan. Karena, pengguna jalan masih kesatuan dalam hubungan antara pengamen dan penjual koran. Apabila tidak ada pengguna jalan, maka pengamen dan penjual koran tidak dapat bertransaksi satu sama lain. Pengamen tidak akan bisa menjual suaranya dan mendapat upah dari pengguna jalan, dan penjual koran tak dapat menjual koran dan mendapatkan pembeli jika tak ada pengguna jalan. Pengguna jalan merupakan komoditas atau sasaran utama para pengamen dan penjual koran, karena pengguna jalan merupakan ladang mencari rejeki bagi pengamen dan penjual koran.
Secara empiris, memang demikian adanya. Pengguna jalan, penjual koran, dan pengamen adalah suatu ikatan atom yang tak dapat dipisahkan lagi, mereka memiliki hubungan emosional dan keterkaitan satu sama lain. Jika diibaratkan seperti suami istri, maka mereka ialah pasangan sejati. Ketiganya dapat memunculkan simbiosis mutualisme. Tapi, apakah simbiosis mutualisme itu selamanya ada diantara ketiganya? Bagaimana jika salah satu darinya merasa tidak nyaman, mungkin pertanyaan itu lebih cocok ditujukan bagi para pengguna jalan.
Perempatan ITN merupakan tempat strategis, jalannya selalu ramai dipenuhi kendaraan bermotor yang berlalu lalang dari pagi hingga pagi lagi. Di perempatan ITN tersebut dekat dengan berbagai pusat pendidikan, perbelanjaan, dan lain-lain yang tak akan pernah lengang oleh kendaraan bermotor. Pengguna jalan akan selalu lewat perempatan itu. Suasana perempatan itu juga enak dipandang, sehingga membuat para pengguna jalan merasa nyaman apabila melewati jalanan tersebut. Tapi, beberapa pengguna jalan merasa tidak nyaman atau terganggu ketika perempatan tersebut dijadikan sebagai tempat pengamen untuk mengamen, dan penjual koran. Mereka merasa terganggu saat lampu merah menyala sebagai tanda berhenti bagi pengguna jalan untuk bergantian memakai perempata, pada saat itulah pengamen mulai beraksi. Para pengamen menyanyikan lagu-lagu populer yang tak asing didengar lalu meminta bayaran, padahal pengguna jalan tersebut tidak meminta pengamen menghampirinya lalu menyanyi di depan dan meminta upah atas nyanyian pengamen. Tak jarang para pengamen merasa tidak tega dan akhirnya terpaksa memberi pengamen upah walaupun uang receh. Seperti yang diungkapkan Wahyu, mahasiswa jurusan Teknologi Pangan Universitas Brawijaya (UB) Malang semester 8 yang berdomisili di jalan Bandung, salah satu pengguna jalan di perempatan ITN mengaku bahwa merasa terganggu karena bisa saja para pengamen itu mencopet atau melakukan tindak kriminal terhadap dirinya, apalagi ia menggunakan sepeda motor yang rentan akan tindak kriminal. Wahyu ragu akan mengeluarkan dompetnya untuk memberi uang receh pada pengamen karena dengan alasan yang tadi, selain itu dengan adanya pengamen dan anak jalanan lainnya merusak pemandangan daerah tersebut sehingga tidak sedap dipandang mata. Lain lagi dengan pendapat Uswatun Hasanah, salah satu mahasiswi jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) semester 2 di Universitas Islam Negeri Malang. Dia mengungkapkan bahwa dia merasa biasa saja dengan adanya para pengamen dan penjual koran. Dia tidak merasa terganggu apabila mereka tidak mengancam keamanan dan kenyamanan dirinya, namun dia pernah merasa terganggu apabila saat ada pengamen dia tidak memiliki uang kecil untuk diberikan pada pengamen itu. Uswatun merasa akan dianggap pelit oleh pengamen tersebut, apalagi dia berjilbab dimana merupakan cerminan agamanya. Sama halnya dengan Nailul Amani Al-Misriyah yang akrab dipanggil Nelly, mahasiswi semester 2 jurusan Bahasa dan Sastra Arab Universitas Islam Negeri Malang, dia juga mengungkapkan bahwa dia akan merasa terganggu dengan adanya para pengamen jika dia tak punya uang receh untuk diberikan pada pengamen tersebut.
Pada intinya, pengguna jalan tidak akan merasa terganggu akan kehadiran para pengamen jika tak mengancam keamanan dan kenyamanan diri mereka, dan mereka mampu memberikan uang receh sebagai bentuk upah atas nyanyian para pengamen.
Hari semakin sore, jam menunjukkan pukul 17.00 WIB. Kesibukan di perempatan ITN itu tetaplah ramai bahkan semaki memenuhi jalan, karena saat itu jam pulang kerja atau orang mengunjungi mall dekat perempatan itu yaitu Malang Town Square (MATOS). Akhirnya para penulis memutuskan kembali ke aktivitas mereka seperti biasa. Endahing meminta Agung, salah satu pengamen untk menyanyikan salah satu lagu yang biasa dimainkan saat mengamen. Sebagian lirik menarik Endahing, yaitu di reff-nya.”....ataukah sistemnya yang salah? Ini salah siapa?”, lagu itu berjudul Ini Salah Siapa?, lagu itu didapat dari selebaran-selebaran lagu baru bagi para pengamen. Selebaran itu disebarkan dari pengamen satu ke pengamen lain. Mereka belajar not lagu juga dari teman pengamen yang lain. Dari secuil lirik lagu tersebut semoga menjadi cambuk bagi pemerintah untuk terus memperbaiki sistem yang berlaku di negara ini, tanpa ada penyelewengan hukum lagi. Semua butuh waktu dan proses, serta bantuan dari semua pihak Anak jalanan, pengamen, penjual koran, bahkan para pengguna jalan terus menanti matahari kesejahteraan terbit.

“Kembalikan “Kali Surabaya”-ku Seperti Dulu”

Banyak sungai terdapat di Indonesia yang memiliki manfaat dalam segala hal yang membantu kehidupan sehari-hari manusia maupun makhluk lainnya, seperti binatang dan tumbuhan. Boleh dikatakan sungai sebagai tempat sumber kehidupan dan pusat kegiatan manusia. Karena sungai terdiri dari air dimana tidak akan pernah habis, dimana selalu terjadi perputaran pembaharuan air secara alami sesuai dengan hukum alam, biasa disebut dengan siklus hidrologi.

Sesuai perkembangan zaman dalam segala bidang seperti sosial, budaya, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, bahkan teknologi yang semakin canggih, serta pertambahan jumlah penduduk di dunia ini yang semakin memadati bumi, tentu semua mengalami suatu perubahan, bisa juga mengalami evolusi dan revolusi, dimana masing-masing memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain yang dapat mempengaruhi satu sama lain. Begitu juga dengan sungai, dengan perubahan zaman tersebut, sungai juga mengalami suatu perubahan, bahkan perubahan yang lebih buruk. Sungai menjadi rawan tercemar yang diakibatkan oleh aktivitas manusia yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan, manusia sibuk dengan urusan pribadi tanpa mempedulikan keadaan lingkungan. Kerusakan lingkungan semakin parah dengan menjamurnya perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang produksi tanpa memperhatikan resiko dalam proses pembuatan, dengan prinsip bahwa dengan modal yang sedikit akan memperoleh laba sebesar-besarnya sangat diterapkan dalam jiwa para pebisnis saat ini, sehingga terjadi suatu ketimpangan sosial dan lingkungan. Ditambah lagi dengan pemerintah begitu mudahnya memberi ijin usaha pada para kapital tanpa memeriksa seluk beluk proses pembuatan produk dengan benar dan ramah lingkungan.

Kemudian kesadaran masyarakat semakin berkurang terhadap kepedulian dalam menjaga lingkungan terutama pada kualitas air, karena paradigma masyarakat bahwa telah ada badan-badan tertentu yang mengurusi lingkungan. Keadaan seperti saat ini sangat riskan, bagaimana kehidupan anak cucu kita kelak apabila masyarakat yang hidup saat ini kurang menyadari betapa pentingnya menjaga lingkungan terutama kualitas air dimana air adalah sumber kehidupan. Walaupun air tidak akan pernah habis, tetapi apabila masyarakat tidak dapat menjaga kualitas air sebagaimana seharusnya, maka kualitas air kelak tidak akan sebaik seperti dulu lagi. Bahkan tingkat kualitas airnya kini diragukan.
Keadaan itu terjadi juga pada Kali Surabaya. Kali Surabaya mengalir sepanjang 41 kilometer daerah Mlirip di Mojokerto hingga daerah Jagir di Surabaya. Kali Surabaya mengalir di dataran rendah bisa disebut sebagai muara sungai dimana air sungainya telah terkontaminasi zat-zat pencemar yang berasal dari kegiatan manusia dan endapan lumpur yang semakin menebal, maka kualitas air Kali Surabaya mudah memburuk. Apalagi perbatasan Kali Surabaya yang melewati daerah Jagir yang akhirnya membelah menjadi dua anak sungai yaitu Kali Wonokromo dan Kali Mas, bagian sungai yang melewati daerah Jagir tersebut kualitas air sungainya semakin memburuk.
Oleh karena itu, penulis menyusun reportase ini dengan tujuan mengungkap fakta yang terjadi pada Kali Surabaya sekarang, perubahan-perubahan Kali Surabaya sesuai bergulirnya waktu, sebagai warga kota Surabaya turut peduli terhadap keadaan Kali Surabaya, berusaha berperan serta dengan mengeluarkan ide-ide yang dimiliki penulis mungkin dengan ide tersebut apabila cocok bisa direalisasikan sebagai bentuk kepedulian terhadap Kali Surabaya. Selain itu, penulis turut serta dalam “Kompetisi Reportase Kali Surabaya” yang diadakan oleh ECOTON, melalui kompetisi ini harapan penulis dapat mengasah kemampuan dalam bidang jurnalistik dan lingkungan, sehingga dengan mengetahui keadaan sebenarnya Kali Surabaya penulis dapat mengendalikan sikap untuk lebih menghargai dan menjaga lingkungan. Setelah itu penulis dapat menularkan pengetahuan penulis kepada keluarga, relasi, atau orang lain.
Dalam reportase ini, penulis menggunakan metode observasi yaitu dengan cara melakukan pengamatan di sepanjang Kali Surabaya daerah Jagir tepatnya di bawah jembatan Wonokromo terus menyusuri ke perkampungan bantaran sungai. Sesekali penulis mengambil gambar aktivitas warga setempat dan sampah-sampah yang ada di pinggir sungai. Untuk menambah informasi dan memperkuat data, penulis mencari data kepada Badan Pengendalian Lingkungan Hidup di Dinas Lingkungan Hidup kota Surabaya, Perusahaan Daerah Air Minum kota Surabaya. Penulis menyempatkan diri untuk mewawancarai bapak Teguh selaku Staf BPLH kota Surabaya. Lalu penulis mencari data di internet, tepatnya di situs milik PDAM yaitu www.pdam-sby.go.id dan menambah pengetahuan melalui buku-buku yang berkaitan dengan lingkungan hidup terutama kualitas air, bahkan Peraturan Daerah Kota Surabaya nomor 02 tahun 2004 mengenai Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Kali Surabaya nasibmu kini tak seperti dulu, bagai pesakitan yang pasrah kepada perubahan zaman yang semakin kejam karena ulah manusia yang hanya peduli dengan kepentingan pribadi dan mengejar keuntungan semata, engkau hanya bisa menangis dalam kebisuan. Segelintir kalimat itulah yang cocok diungkapkan sekarang ketika mengetahui bahwa Kali Surabaya terlantar seperti anak kehilangan bundanya. Orang-orang yang tinggal di bantaran sungai, maupun yang tinggal jauh dari Kali tersebut dan orang- orang berlalu lalang setiap hari melewati Kali Surabaya sepertinya tak peduli dengan keadaan Kali Surabaya, menolehpun tidak hanya sebagian yan menoleh, itupun mungkin tak terbersit oleh mereka untuk ikut memikirkan nasib Kali Surabaya, mungkin juga pikiran mereka berada di dunia masalah mereka sendiri. Mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing demi melangsungkan kehidupan, walaupun sadar tak sadar aktivitas mereka juga mempengaruhi kelestarian Kali Surabaya, terutama kualitas air sungai.
Sebenarnya air di alam dangat jarang ditemukan dalam keadaan murni. Sekalipun air hujan, meskipun awalnya murni, telah mengalami reaksi dengan gas-gas di udara dalam perjalanannya turun ke bumi dan selanjutnya terkontaminasi selama mengalir di atas permukaan bumi dan dalam tanah. Kualitas air menyatakan tingkat kesesuaian air terhadap penggunaan tertentu dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, mulai dari air untuk memenuhi kebutuhan langsung yaitu air minum, mandi dan cuci, air irigasi atau pertanian, peternakan, perikanan, perikanan, rekreasi dan transportasi. Kualitas air mencakup tiga karakteristik, yaitu fisik, kimia, dan biologi.
Dalam karakteristik fisik yang terpenting yang mempengaruhi kualitas air ditentukan oleh (1) bahan padat keseluruhan, yang terapung maupun yang terlarut, (2) kekeruhan, air yang mengandung material kasat mata dalam larutan disebut keruh, kekeruhan dalam air terdiri dari lempung, liat, dan bahan organik, dan mikroorganisme, kekeruhan terutama disebabkan oleh terjadinya erosinya tanah di daerah aliran sungai (DAS) maupun di saluran atau sungai, air sungai biasanya lebih keruh pada saat terjadi hujan lebat dibandingkan pada kondisi normal,(3) warna, air murni tidak berwarna, warna dalam air diakibatkan oleh adanya material yang larut atau koloid dalam suspensi atau mineral , (4) bau dan rasa, air murni tidak berbau dan berasa, tetapi air minum idealnya tidak berbau boleh berasa, rasa dalam air biasanya akibat adanya garam-garam terlarut, dan (5) temperature (suhu) air, temperature air merupakan hal yang terpenting dalam kaitannya dengan tujuan penggunaan, pengolahan untuk menghilangkan bahan-bahan pencemar serta pengangkutannya, temperature air tergantung sumbernya, temperature normal air di alam (tropis) sekitar 20ºC sampai 30ºC, untuk sistem air bersih, temperature ideal berkisar antara 5ºC-10ºC.
Secara umum karakteristik kimiawi air meliputi pH, alkalinitas, kation dan anion terlarut, dan kesadahan.pH sebagai pengukur sifat keasaman dan kebasaan air dinyatakan dengan nilai pH yang dapat diukur dengan poteasiometer. Alkalinitas kebanyakan air bersifat alkaline karena garam-garam alkaline sangat umum berada di tanah.Kesadahan (Hardness) air merupakan hal yang sangat penting dalam penyediaan air bersih. Air dengan kesadahan tinggi memerlukan sabun lebih banyak sebelum terbentuk busa.
Karakteristik biologi air, air permukaan biasanya mengandung berbagai organisme hidup, sedangkan air tanah biasanya lebih bersih, karena proses penyaringan oleh akifer. Jenis-jenis organisme hidup yang mungkin terdapat dalam air meliputi macrokopik, mikroskopik, dan bakteri.
Banyak faktor yang berpengaruh pada memburuknya kualitas air sungai. Secara umum ada tiga kegiatan utama manusia yang menjadi sumber penurunan kualitas air sungai diantaranya kegiatan rumah tangga (domestik) yaitu sampah, pengotoran E.coli atau faekalis atau Amonia, Industri yaitu bahan-bahan anorganik dan logam berat, zat-zat warna dan bahan-bahan organik, pertanian. Sumber domestik terdiri dari air limbah yang berasal dari perumahan dan pusat perdagangan maupun perkantoran, hotel, rumah sakit, tempat rekreasi, dan lain-lain. Limbah jenis ini sangat mempengaruhi tingkat kekeruhan, BOD (Biological oxygen demand) yaitu beban organik yang dapat terlarut selama jangka waktu tertent misalnya lima hari, COD (Chemical Oxygen Demand) yaitu beban yang terlarut dimana diukur secara kimiawi, dan kandungan sistem pasokan air. Air limbah industri, sifat-sifat air limbah industri relatif bervariasi tergantung dari sumbernya. Limbah jenis ini bukan saja mempengaruhi tingkat kekeruhan, BOD, COD, maupun kandungan organiknya, tetapi juga mengubah struktur kimia air akibat masuknya zat-zat anorganik yang mencemari. Ini sependapat dengan Drs. Sunarno. Menurut Drs. Sunarno dalam artikelnya dengan tema Kualitas Air Kali Surabaya dan judul Trend Kualitas Air Kali Surabaya yang dipublikasikan di www.pdam-sby.go.id pada tanggal 11 Februari 2002 pukul 11.12 WIB mengatakan bahwa pencemaran yang berasal dari industri terdiri dari bahan anorganik dan logam-logam berat. Bahwa di sepanjang Klai Surabaya terdapat ± 26 industri dan ada juga industri-industri yang letaknya di luar wilayah kota Surabaya tetapi dalam hal buangan limbahnya lewat Kali Tengah (± 34 industri) dibuang ke Kali Surabaya yang merupakan air baku minum PDAM Kota Surabaya. Jenis-jenis pencemar industri dapat dimonitor atau dipantau karena cirri-ciri khas dari buangan limbah industri tersebut antara lain zat-zat anorganik meliputi fosfat, sulfat, klorida, amonia, sulfida, nitrit, pH, kesadahan dan logam-logam berat antara lain tembaga(Cu), Chrome(Cr), walaupun kadarnya biasanya cukup aman sebagai air baku, namun sering pula kadarnya cukup tinggi. Zat warna di sepanjang Kali Surabaya terdapat industri-industri yang air buangannya mengandung zat warna dengan aneka ragam jenis dan susunan kimiawinya. Dan bahan organic bahwa senyawa organic pada air Kali Surabaya berfluktuasi atau berubah-ubah, khususnya pada musim kemarau senyawa organic meningkat sekali. Limbah cair domestic dan tinja, kebanyakan di kota-kota besar limbah tersebut dominan mempengaruhi kualitas air sungai, karena jumlah penduduknya yang padat bahkan pendatang dari kota lain yang berkunjung di kota ini. Nah, saat ini pencemaran dari rumah tangga (domestik) seperti pencemar faekalis dan detergent juga mempengaruhi kualitas air Kali Surabaya, begitu menurut Drs. Sunarno. Masih dalam artikel yang sama Drs. Sunarno menjelaskan bahwa air Kali Surabaya sampai saat ini masih mendapat pengotoran faekalis secara langsung dari rumah tangga, hal ini dapat ditunjukkan dari pengamatan E. coli yang terdapat pada persatuan volume air baku dan kadar Amonia yang terdapat pada air baku telah melampaui batas yang dipersyaratkan (SK-Gubernur No. 413/1987). Lalu semakin meluasnya pemakaian syntetic detergent membawa akibat adanya kandungan detergent pada air Kali Surabaya. Air limbah pertanian dimana berasal dari sediment akibat erosi lahan, unsur kimia limbah hewan atau pupuk (umumnya fosfor dan nitrogen), dan unsur kimia dan pestisida. Unsur pencemar ini meliputi baik sediment dari erosi lahan tanaman perkebunan maupun larutan fosfor dan nitrogen yang dihasilkan oleh limbah hewani serta pupuk. Walaupun di kota Surabaya jarang ada lahan pertanian, tetapi dapat ikut aliran Kali Surabaya yang berasal dari daerah lain yang dilalui Kali Surabaya.
Sesuai keterangan di atas telah menggambarkan kondisi Kali Surabaya yang kualitas air sungainya tidak sebaik dulu. Menurut Bapak Teguh, Staf BPLH Kota Surabaya bahwa kualitas air Kali Surabaya saat ini belum memenuhi standar baku mutu yang ditentukan oleh pemerintah pusat yaitu untuk standar DO (Dissolved Oxygen) dimana oksigen yang terlarut yaitu 6mg/liter, standar BOD yaitu 2mg/liter, standar COD yaitu 10mg/liter, standar TSS (ada yang terlarut, ada yang tidak terlarut) yaitu 50mg/liter, standar deterjen yaitu 200mg/liter, standar Zn (Seng) yaitu 0.05mg/liter. Dari hasil analisa uji laboratorium pemantauan kualitas air Kali Surabaya yang dilakukan oleh Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) kota Surabaya bulan Februari – Desember tahun 2006 di empat lokasi titik pantau diantaranya Badan air Kali Surabaya, air limbah TPA, air PDAM, dan air sumur, disimpulkan bahwa : (a.) kadar BOD, COD, dan TSS tidak memenuhi batas syarat mutu air kelas I, (b.) tidak ditemukan kadar logam berat jenis : Pb, Hg, dan Cd, tetapi masih ditemukan kadar Zn meskipun masih di bawah nilai ambang batas, (c.) pengukuran pH normal, (d.) kadar deterjen pada 2 lokasi titik pantau masih di atas ambang batas kelas I.





JALAN SUTRA MENUJU PSIKOLOGI ISLAM


Melakukan sebuah pencarian ilmu menjadi sebuah tugas harian bagi para intelektual. Pemikiran-pemikiran keilmuan yang ada senantiasa dikaji, diteliti, dan diverifikasi, sehingga menghasilkan temuan-temuan baru yang kadang mencengangkan dunia. Dunia sains yang begitu hingar bingar memang telah memberikan sebuah kontribusi besar bagi peradaban dunia ini. Peradaban modern yang diawali dengan revolusi industri Inggris dan Perancis tahnu 1789 menjadi titik berangkatnya.
Di balik kecanggihan sains modern ternyata memiliki kontribusi terhadap munculnya diskrepansi dan dehumanisasi. Tentunya perlu ada semacam evaluasi terhadap ilmu, penggagas dan pengguna ilmu. Tak ayal muncullah apa yang disebut korupsi dalam ilmu pengetahuan yang diintrodusir oleh Arnold dalam bukunya The Corrupted Sciences: Challenging the Myths of Modern Science (1992). Ia menulis seperti ini tentang sains modern sekarang:[1]
“Modern sciences and technologies are corrupt not because they are evils in themselves… but because many perceptions in, and methods of, science are wrong in theory and in practice, and because many scientists refuse to face the consequences of their work or make value judgements about its possible applications. Such an attitude makes technicians out of those who profess to practice science.”
 
Menurutnya, ada semacam ketidaksejalanan antara teori dan praktek dan penolakan para ilmuwan menghadapi konsekuensi dari pekerjaan mereka. Kemudian ini menghasilkan apa yang ia sebut sebagai “dosa yang mematikan dari sains modern”. Paling tidak ada delapan “dosa” yang menurutnya saling berkaitan satu sama lainnya. Pertama, orientasi mekanistis dan materialis yang eksklusif, kebanyakan sebagai warisan dari agama-agama konvensional; kedua, keasyikan dalam beroperasi (‘how’ things work) dengan melepaskan sebab dan akibatnya (‘why’ things work).
Ketiga, spesialisasi yang berlebihan yang tidak berhubungan dengan persoalan global; keempat, hanya mengungkap “pengetahuan yang tampak” (revealed knowledge) untuk menciptakan hanya satu jenis pengetahuan; kelima, melayani vested-interest dan mode; keenam, dedikasi kepada pesanan-pesanan sesuai kebutuhan, dipublikasikan, disembunyikan atau dilenyapkan; ketujuh, kepura-puraan bahwa ilmu itu adalah bebas nilai; dan kedelapan, kebanyakan dari sains dewasa ini, sebagaimana agama-agama Barat dan filsafat Barat selama ini, tidak berpusat pada manusia. Enam “dosa” terakhir sebenarnya merupakan watak khas dalam ilmu-ilmu sosial, seperti juga dalam psikologi. Sehingga orang akan baru dikatakan sebagai ilmuwan jika dapat memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Misalnya dalam hal obyektifitas dalam penelitian, seorang peneliti diharuskan untuk menjaga jarak dengan obyek yang akan diteliti. Ini diperlukan agar muncul kenetralan dan tidak dicampuri oleh bias peneliti.
Dewasa ini banyak diselenggarakannya seminar-seminar, forum diskusi, ataupun penelitian oleh kelompok kajian tertentu seperti para civitas akademik yang mengulas tentang integrasi ilmu dan agama. Pada awalnya sebagian orang tidak menggubris bahasan itu, akan tetapi lambat laun sejalan terjadinya berbagai peristiwa penyimpangan terhadap ilmu pengetahuan yang tidak didasari oleh agama, maka bahasan terhadap integrasi ilmu dan agama (merujuk pada Islam) kembali muncul ke permukaan dan menjadi suatu topik hangat untuk diperbincangkan, tidak hanya bagi pelaku akademik melainkan juga masyarakat umum yang awam terhadap ilmu sekalipun. Integrasi ilmu dan Islam kini menggunakan istilah islamisasi sains. Isu islamisasi sainsa terutama pada Psikologi telah lama merebak ke masyarakat, dimana tak dapat dipungkiri bahwa peran agama dalam mengontrol perkembangan ilmu pengetahuan yang benar sangat dibutuhkan guna menyeimbangkan antara agama dan ilmu pengetahuan, agar tidak terjadi suatu ketimpangan atau ketidakseimbangan dalam aplikasi sains ke dalam kehidupan yang dapat merugikan umat manusia.
Agama berperan sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan, begitu juga sebaliknya. Semua dapat dilaksanakan apabila masyarakat atau pihak terkait memahami pentingnya integrasi itu. Walaupun, apabila kita menilik ke sejarah munculnya Psikologi bahwa para psikolog sepakat Wilhelm Wundt merupakan tokoh pencetus adanya Psikologi yang ada hingga kini dengan deklarasinya membentuk laboratorium psikologi pertama di Jerman saat itu. Disusul oleh Pavlov yang dilakukan di Rusia. Setelah itu Psikologi berkembang pesat dengan teori-teori bermunculan sesuai dengan aliran-aliran yang ada saat itu seperti Strukturalisme, Fungsionalisme, Psikoanalisa, Behaviourisme, Gestalt, Humanistik, dan lain sebagainya. Sebagian besar Psikologi dikembangkan oleh para ilmuwan Barat yang tidak mengenal Islam, akan tetapi banyak juga tokoh Islam yang meneliti tentang psikologi, dalam Islam dikenal sebagai al-ilmu nafs.
Pergulatan dalam pengembangan psikologi Islam masih terus terasa hingga sekarang. Memang sudah banyak forum ilmiah membicarakan hal ini. Paling tidak –untuk kasus Indonesia- ada dua kelompok yang mencoba membangun konsep psikologi Islam ini.
Kelompok pertama adalah mereka yang memiliki latar belakang pendidikan psikologi dan kemudian bersentuhan dengan konsep-konsep Islam mengenai psikologi. Di samping adanya ketidakpuasan terhadap bahasan psikologi yang dianggap terlalu sekularistik dan menafikan kondisi kejiwaan hakiki manusia. Untuk menyebut beberapa nama pada kelompok ini antara lain seperti Hanna Djumhana Bastaman, Fuad Nashori, Djamaludin Ancok, Subandi, dan kelompok kajian di Yayasan Insan Kamil Yogyakarta. Umumnya mereka menggunakan terma psikologi islami dengan alasan bahwa psikologi modern yang ada tetap digunakan sebagai pisau analisis, namun dimasukkan pandangan-pandangan Islam tentang psikologi.
Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang mencoba menggali khasanah klasik Islam (at-turats al-islami) untuk pengembangan keilmuan psikologi Islam. Misalnya, Abdul Mujib atau Achmad Mubarok. Keduanya bukanlah psikolog dan tidak memiliki latar belakang pendidikan psikologi, namun memiliki akses terhadap literatur-literatur berbahasa Arab yang di situ terhampar pemikiran-pemikiran cendekiawan muslim klasik yang bersinggungan dengan psikologi, semacam Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Miskawaih dsb. Mereka menggunakan istilah psikologi Islam dengan alasan mengambil sumber langsung dari khasanah klasik Islam dan kemudian mengkontekstualisasikan dengan pandangan psikologi modern. Umumnya mereka yang berlatar pendidikan dari kampus-kampus yang memiliki akses terhadap literatur Arab, semacam IAIN yang memiliki kecenderungan semacam ini.
Pada dasarnya mereka menginginkan adanya integrasi antara psikologi dan islam. Dengan adanya psikologi Islam tidak bermaksud untuk menggantikan atau menyingkirkan teori-teori yang telah ada, akan tetapi sebagai pelengkap dan pembanding teori-teori ada sebelum psikologi Islam. Yang perlu digaris bawahi ialah pengintegrasian ilmu dengan agama sangat penting untuk menangkal segala kemungkinan buruk yang dapat merusak eksistensi kesucian sains. Ini kewajiban bagi para psikolog muslim untuk mencapainya dengan jalan sutra yang terjal.