YAKUSA

Yakin Usaha Sampai

FoLLoweR

serba-serbi

Senin, 26 Mei 2008

JALAN SUTRA MENUJU PSIKOLOGI ISLAM


Melakukan sebuah pencarian ilmu menjadi sebuah tugas harian bagi para intelektual. Pemikiran-pemikiran keilmuan yang ada senantiasa dikaji, diteliti, dan diverifikasi, sehingga menghasilkan temuan-temuan baru yang kadang mencengangkan dunia. Dunia sains yang begitu hingar bingar memang telah memberikan sebuah kontribusi besar bagi peradaban dunia ini. Peradaban modern yang diawali dengan revolusi industri Inggris dan Perancis tahnu 1789 menjadi titik berangkatnya.
Di balik kecanggihan sains modern ternyata memiliki kontribusi terhadap munculnya diskrepansi dan dehumanisasi. Tentunya perlu ada semacam evaluasi terhadap ilmu, penggagas dan pengguna ilmu. Tak ayal muncullah apa yang disebut korupsi dalam ilmu pengetahuan yang diintrodusir oleh Arnold dalam bukunya The Corrupted Sciences: Challenging the Myths of Modern Science (1992). Ia menulis seperti ini tentang sains modern sekarang:[1]
“Modern sciences and technologies are corrupt not because they are evils in themselves… but because many perceptions in, and methods of, science are wrong in theory and in practice, and because many scientists refuse to face the consequences of their work or make value judgements about its possible applications. Such an attitude makes technicians out of those who profess to practice science.”
 
Menurutnya, ada semacam ketidaksejalanan antara teori dan praktek dan penolakan para ilmuwan menghadapi konsekuensi dari pekerjaan mereka. Kemudian ini menghasilkan apa yang ia sebut sebagai “dosa yang mematikan dari sains modern”. Paling tidak ada delapan “dosa” yang menurutnya saling berkaitan satu sama lainnya. Pertama, orientasi mekanistis dan materialis yang eksklusif, kebanyakan sebagai warisan dari agama-agama konvensional; kedua, keasyikan dalam beroperasi (‘how’ things work) dengan melepaskan sebab dan akibatnya (‘why’ things work).
Ketiga, spesialisasi yang berlebihan yang tidak berhubungan dengan persoalan global; keempat, hanya mengungkap “pengetahuan yang tampak” (revealed knowledge) untuk menciptakan hanya satu jenis pengetahuan; kelima, melayani vested-interest dan mode; keenam, dedikasi kepada pesanan-pesanan sesuai kebutuhan, dipublikasikan, disembunyikan atau dilenyapkan; ketujuh, kepura-puraan bahwa ilmu itu adalah bebas nilai; dan kedelapan, kebanyakan dari sains dewasa ini, sebagaimana agama-agama Barat dan filsafat Barat selama ini, tidak berpusat pada manusia. Enam “dosa” terakhir sebenarnya merupakan watak khas dalam ilmu-ilmu sosial, seperti juga dalam psikologi. Sehingga orang akan baru dikatakan sebagai ilmuwan jika dapat memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Misalnya dalam hal obyektifitas dalam penelitian, seorang peneliti diharuskan untuk menjaga jarak dengan obyek yang akan diteliti. Ini diperlukan agar muncul kenetralan dan tidak dicampuri oleh bias peneliti.
Dewasa ini banyak diselenggarakannya seminar-seminar, forum diskusi, ataupun penelitian oleh kelompok kajian tertentu seperti para civitas akademik yang mengulas tentang integrasi ilmu dan agama. Pada awalnya sebagian orang tidak menggubris bahasan itu, akan tetapi lambat laun sejalan terjadinya berbagai peristiwa penyimpangan terhadap ilmu pengetahuan yang tidak didasari oleh agama, maka bahasan terhadap integrasi ilmu dan agama (merujuk pada Islam) kembali muncul ke permukaan dan menjadi suatu topik hangat untuk diperbincangkan, tidak hanya bagi pelaku akademik melainkan juga masyarakat umum yang awam terhadap ilmu sekalipun. Integrasi ilmu dan Islam kini menggunakan istilah islamisasi sains. Isu islamisasi sainsa terutama pada Psikologi telah lama merebak ke masyarakat, dimana tak dapat dipungkiri bahwa peran agama dalam mengontrol perkembangan ilmu pengetahuan yang benar sangat dibutuhkan guna menyeimbangkan antara agama dan ilmu pengetahuan, agar tidak terjadi suatu ketimpangan atau ketidakseimbangan dalam aplikasi sains ke dalam kehidupan yang dapat merugikan umat manusia.
Agama berperan sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan, begitu juga sebaliknya. Semua dapat dilaksanakan apabila masyarakat atau pihak terkait memahami pentingnya integrasi itu. Walaupun, apabila kita menilik ke sejarah munculnya Psikologi bahwa para psikolog sepakat Wilhelm Wundt merupakan tokoh pencetus adanya Psikologi yang ada hingga kini dengan deklarasinya membentuk laboratorium psikologi pertama di Jerman saat itu. Disusul oleh Pavlov yang dilakukan di Rusia. Setelah itu Psikologi berkembang pesat dengan teori-teori bermunculan sesuai dengan aliran-aliran yang ada saat itu seperti Strukturalisme, Fungsionalisme, Psikoanalisa, Behaviourisme, Gestalt, Humanistik, dan lain sebagainya. Sebagian besar Psikologi dikembangkan oleh para ilmuwan Barat yang tidak mengenal Islam, akan tetapi banyak juga tokoh Islam yang meneliti tentang psikologi, dalam Islam dikenal sebagai al-ilmu nafs.
Pergulatan dalam pengembangan psikologi Islam masih terus terasa hingga sekarang. Memang sudah banyak forum ilmiah membicarakan hal ini. Paling tidak –untuk kasus Indonesia- ada dua kelompok yang mencoba membangun konsep psikologi Islam ini.
Kelompok pertama adalah mereka yang memiliki latar belakang pendidikan psikologi dan kemudian bersentuhan dengan konsep-konsep Islam mengenai psikologi. Di samping adanya ketidakpuasan terhadap bahasan psikologi yang dianggap terlalu sekularistik dan menafikan kondisi kejiwaan hakiki manusia. Untuk menyebut beberapa nama pada kelompok ini antara lain seperti Hanna Djumhana Bastaman, Fuad Nashori, Djamaludin Ancok, Subandi, dan kelompok kajian di Yayasan Insan Kamil Yogyakarta. Umumnya mereka menggunakan terma psikologi islami dengan alasan bahwa psikologi modern yang ada tetap digunakan sebagai pisau analisis, namun dimasukkan pandangan-pandangan Islam tentang psikologi.
Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang mencoba menggali khasanah klasik Islam (at-turats al-islami) untuk pengembangan keilmuan psikologi Islam. Misalnya, Abdul Mujib atau Achmad Mubarok. Keduanya bukanlah psikolog dan tidak memiliki latar belakang pendidikan psikologi, namun memiliki akses terhadap literatur-literatur berbahasa Arab yang di situ terhampar pemikiran-pemikiran cendekiawan muslim klasik yang bersinggungan dengan psikologi, semacam Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Miskawaih dsb. Mereka menggunakan istilah psikologi Islam dengan alasan mengambil sumber langsung dari khasanah klasik Islam dan kemudian mengkontekstualisasikan dengan pandangan psikologi modern. Umumnya mereka yang berlatar pendidikan dari kampus-kampus yang memiliki akses terhadap literatur Arab, semacam IAIN yang memiliki kecenderungan semacam ini.
Pada dasarnya mereka menginginkan adanya integrasi antara psikologi dan islam. Dengan adanya psikologi Islam tidak bermaksud untuk menggantikan atau menyingkirkan teori-teori yang telah ada, akan tetapi sebagai pelengkap dan pembanding teori-teori ada sebelum psikologi Islam. Yang perlu digaris bawahi ialah pengintegrasian ilmu dengan agama sangat penting untuk menangkal segala kemungkinan buruk yang dapat merusak eksistensi kesucian sains. Ini kewajiban bagi para psikolog muslim untuk mencapainya dengan jalan sutra yang terjal.

Tidak ada komentar: